Friday 25 December 2015

HUKUM MELAKSANAKAN KEGIATAN BMT DI MASJID






Pertanyaan.
Apakah hukumnya melaksanakan kegiatan BMT (Baitul Mâl Wat-Tamwîl) di ruangan masjid yang digunakan untuk shalat ? seperti pembicaraan simpan pinjam dan lain sebagainya yang sifatnya tamwîlul mâl ? Pengurus BMT melaksanakan kegiatan seperti ini dalam masjid dengan alasan, bahwa pada masa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam baitul mâl juga dilaksanakan di masjid. Benarkah cara berdalil seperti ini ?
Apakah sama antara baitul mâl pada masa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan BMT yang ada sekarang ini ?
Bukankah pada masa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu kegiatan baitul mâl itu tidak ada unsur bisnisnya (tamwîl) ?
Bukankah mengumumkan barang hilang dan berjual beli dilarang dalam masjid ? Syukran, jazakumullahu khairan. (Abul-Hasan, di Sawah Lunto-Sumatera Barat) 628537xxxxx

Jawaban.
Semoga Allâh menjaga Anda dan kita semua. Pembahasan masalah ini kembali kepada pembahasan masalah hukum jual beli di masjid. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ في المَسْجِدِ، فَقُولُوا: لا أرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَكَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَنْشُدُ ضَالَّةً فَقُولُوا: لا رَدَّهَا الله عَلَيْكَ

Jika kalian melihat ada orang yang menjual atau membeli di masjid, katakanlah ‘Semoga perdagangan kalian tidak beruntung’. Dan jika kalian melihat orang yang mengumumkan barang hilang di sana, katakanlah ‘Semoga Allâh tidak mengembalikan barang itu’.” [HR. at-Tirmidzi no. 1321. Hadits ini dihukumi shahîh oleh Ibnu Khuzaimah, al-Albâni dan Ahmad Syâkir rahimahumullâh]

Dalam riwayat Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu :

أنَّ رسولَ اللهِ n نَهَى عَن الشِّراءِ والبَيْعِ في المَسْجِدِ، وَأنْ تُنْشَدَ فِيهِ ضَالَّةٌ؛ أَوْ يُنْشَدَ فِيهِ شِعْرٌ

Rasûlullâh melarang jual beli, mengumumkan barang hilang dan membaca syair di masjid

Dalam beberapa hadits yang lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa masjid tidak dibangun untuk hal-hal seperti itu, tetapi untuk shalat dan membaca al-Qur`ân. Dengan demikian, jelaslah bahwa jual beli di masjid itu terlarang. Demikian pula akad-akad semisal yang mengandung transaksi bisnis seperti sewa menyewa dan syarikah (koperasi).

Saat melihat kepada hakekat dan praktek Baitul Mâl wa Tamwîl (BMT) di Indonesia, kita akan dapatkan bahwa transaksinya tidak lepas dari jual beli, seperti mudhârabah, murâbahah atau yang lain. Kegiatan Baitut tamwîl adalah mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha kecil. BMT berorientasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan pemanfaatan ekonomi untuk anggota dan lingkungannya. Karena itu, sebagian peneliti mengindonesiakan kepanjangan BMT menjadi Balai-usaha Mandiri Terpadu. BMT bukanlah lembaga sosial, meski dapat dimanfaatkan untuk mengefektifkan penggunaan zakat, infaq dan sadaqah bagi kesejahteraan orang banyak.[1]

Adapun Baitul Mal pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khulafâ'ur Râsyidîn Radhiyallahu anhum, fungsinya adalah mengurus pemasukan dan pengeluaran negara. Domainnya adalah zakat, kharaj (pajak), jizyah (upeti), ghanîmah (harta rampasan yang didahului dengan pertempuran), fai` (harta rampasan tanpa didahului dengan pertempuran), wakaf dan semisalnya.[2] Jadi tugas Baitul Mâl adalah mengatur pendapatan Negara dan membelajakan atau menyalurkannya kepada yang berhak. Dalam kegiatannya, tidak ada unsur bisnis di dalamnya.

Sebagian harta itu kadang disimpan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu :

أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَالٍ مِنَ الْبَحْرَيْنِ، فَقَالَ: انثُرُوْهُ فِي الْمَسْجِدِ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikirimi harta dari Bahrain, maka beliau berkata, “Letakkan ia di masjid.” [HR. al-Bukhâri no. 411]

Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits larangan jual beli di masjid, karena penyimpanan harta dari Bahrain ini tidak mengandung unsur jual beli.

Dengan memahami uraian di atas, maka nampak jelas perbedaan antara baitul mâl dan BMT. Meski menjalankan sebagian fungsi baitul mâl, namun tujuan utama BMT adalah bisnis, sehingga kegiatan BMT tidak boleh dilakukan di dalam masjid, kecuali kegiatan yang tidak mengandung unsur bisnis seperti penerimaan zakat dan simpan pinjam nirlaba (non ribawi). Apalagi, masih banyak BMT yang ternyata tidak lepas dari transaksi ribawi. Transaksi yang demikian adalah haram, baik dilakukan di dalam masjid maupun di luar.

Adapun ruangan khusus yang berada di luar dinding masjid, meskipun ruangan itu masih menyatu dengan masjid, namun dia bukan bagian dari masjid dan ruangan itu tidak mengikuti hokum masjid. Jual beli boleh dilakukan di tempat seperti ini, sebagaimana difatwakan oleh Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa di Kerajaan Arab Saudi.[3] Wallahu A’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XVI/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat: Apa Itu BMT (artikel di http://ekisopini.blogspot.com/)
[2]. Lihat: Baitul Mal fi ‘Ahdin Nabi wal Khulafâ`ir Râsyidin, Dr Raghib as-Sirjani. (http://islamstory.com)
[3]. Fatâwâ al-Lajnah ad-Dâ`imah 6/287

No comments:

Post a Comment