Friday 18 December 2015

Al-Khulu’ (Minta Cerai)


Hasil gambar untuk AL KHULU

KITAB NIKAH

Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Al-Khulu’ (Minta Cerai)
Definisi
Khulu’
secara bahasa diambil dari kata Khala’a ats-tsauba yang artinya melepaskan baju. Karena pada hakikatnya isteri adalah pakaian suami dan suami adalah pakaian bagi isteri. Allah Ta’ala berfirman:

هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ

"Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka." [Al-Baqarah: 187]

Sedangkan menurut para ulama fiqih, khulu’ adalah talak yang dilakukan oleh suami kepada isterinya dengan tebusan harta yang ia ambil dari isteri. Disebut juga sebagai fidyah dan iftida. [1]

Hukum Khulu’ Dalam Syari’at:
Apabila konflik yang terjadi antara suami dan isteri semakin memanas dan tidak mungkin untuk disatukan kembali sementara sang isteri ingin berpisah dari suaminya, maka boleh baginya untuk menebus dirinya dengan membayar sejumlah harta kepada suami sebagai ganti atas mudharat yang timbul dari perceraiannya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَن يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ

"Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri utuk menebus dirinya." [Al-Baqarah: 229]

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma ia berkata, ‘Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata :

يَا رَسُولَ اللهِ مَا أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلاَ خُلُقٍ إِلاَّ أَنِّي أَخَافُ الْكُفْرَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ، فَقَالَتْ: نَعَمْ. فَرَدَّتْ عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا.

“Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama dan akhlaknya, akan tetapi aku takut akan kufur.” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau mau mengembalikan kebun kepadanya?” Ia menjawab, “Ya.” Maka kemudian kebun itu dikembalikan kepada Tsabit bin Qais dan menyuruhnya untuk menceraikan isterinya.” [2]

Peringatan Keras Atas Perbuatan Khulu’
Dari Tsauban Radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ.

“Wanita mana saja yang minta cerai dari suaminya tanpa adanya alasan, maka ia tidak akan mencium bau wanginya Surga.” [3]

Dalam hadits lain ia (Tsauban) juga meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau pernah bersabda:

اَلْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ.

“Para isteri yang minta cerai adalah wanita-wanita munafik.” [4]

Peringatan Keras Bagi Para Suami Agar Tidak Berbuat ‘Adhl (Menyusahkan) Kepada Para Isteri
Apabila seorang suami tidak suka terhadap isteri dikarenakan suatu sebab, maka hendaknya ia menceraikan isterinya dengan ma’ruf sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta’ala dan janganlah ia menahan isteri dan berbuat aniaya kepadanya agar ia menebus dirinya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ ۚ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِّتَعْتَدُوا ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ۚ وَلَا تَتَّخِذُوا آيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنزَلَ عَلَيْكُم مِّنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُم بِهِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

"Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir ‘iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu, yaitu al-Kitab dan al-Hikmah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." [Al-Baqarah: 231]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

"Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepa-danya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." [An-Nisaa’: 19]

Khulu’ Adalah Faskh (Batalnya Pernikahan) Bukanlah Talak
Apabila seorang isteri menebus dirinya kemudian suami menceraikannya, maka ia (isteri) lebih berwenang atas dirinya dan tidak ada hak bagi suami untuk rujuk kecuali dengan keridhaannya. Dan perpisahan ini tidak dianggap sebagai talak meskipun jatuhnya dengan lafazh talak, akan tetapi hukumnya adalah faskh dalam akad untuk kemaslahatan isteri sebagai ganti atas tebusannya.

Ibnul Qayyim -rahimahullah- berkata, “Yang menunjukkan bahwa hal tersebut tidak dihukumi sebagai talak bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala menentukan tiga hal dalam hukum talak selama belum talak tiga, yang kesemuanya tidak ada dalam hukum khulu’, yaitu :

Pertama: Bahwa suami lebih berhak dalam hal rujuk daripada isteri

Kedua: Talak dihitung selama tiga kali, maka jika telah terjadi talak tiga, sang isteri tidaklah halal baginya kecuali setelah menikah kembali dengan suami lain dan mencampurinya.

Ketiga: Bahwasanya ‘iddah dalam talak adalah selama tiga quru’.

Adapun dalam permasalahan khulu’ :
Telah tsabit (tetap) dalam nash dan ijma’ (kesepakatan seluruh ulama) bahwasanya tidak ada rujuk dalam khulu’.

Dan telah tsabit dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan perkataan para Sahabat bahwasanya ‘iddah dalam khulu’ hanya selama satu kali haidh.

Dan telah tsabit dalam nash tentang dibolehkannya khulu’ setelah talak dua dan jatuh hukum talak tiga setelahnya (setelah melewati tiga masa haidh)..

Dari keterangan di atas sangat jelas bahwasanya khulu’ bukanlah talak.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَن يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

"Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya." [Al-Baqarah: 229]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Fiqhus Sunnah (II/253), Manaarus Sabiil (II/226), Fat-hul Baari (IX/395).
[2]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 2036)], Shahiih al-Bukhari (IX/395, no. 5276).
[3]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1672)], Sunan Abi Dawud (VI/ 308, no. 2209), Sunan at-Tirmidzi (II/329, no. 1199), Sunan Ibni Majah (I/662, no. 2055).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6681)], Sunan at-Tirmidzi (II/329, no. 1198)

No comments:

Post a Comment