Thursday 17 December 2015

Mudharabah


 Hasil gambar untuk murabahah

Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Definisi Mudharabah [1]
Mudharabah diambil dari kata adh-dharbu fil ardhi yang artinya safar (berjalan di muka bumi) untuk melakukan perdagangan.

Allah Ta’ala berfirman:

وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللَّهِ

“... Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah...” [Al-Muzzammil: 20]

Dan disebut pula qiradh diambil dari kata al-Qardhu yang artinya al-qath’u (memotong) karena si pemilik memotong sebagian dari hartanya untuk berdagang dan sebagian yang lain dari keuntungannya.

Sedangkan yang dimaksud di sini adalah akad antara dua pihak, yaitu salah satu dari keduanya membayar secara tunai kepada pihak yang lain agar ia berdagang dengannya, dan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan apa yang menjadi kesepa-katan mereka berdua.

Pensyari’atan Mudharabah
Ibnul Mundzir berkata dalam kitabnya, al-Ijmaa’ (hal. 124), “Mereka (ulama) telah berijma’ (sepakat) akan bolehnya qiradh dengan dinar dan dirham, dan mereka juga berijma’ bahwa bagi si pekerja agar mensyaratkan kepada pemilik harta (untuk memperoleh) sepertiga dari keuntungan atau setengahnya atau sesuai apa yang mereka berdua sepakati atasnya setelah menjadi jelas bagiannya.”

Dan para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah beramal dengannya.

Dari Zaid bin Aslam dari ayahnya bahwa, ia berkata, “‘Abdullah dan ‘Ubaidullah, dua putera ‘Umar bin al-Khaththab, keluar bersama pasukan menuju Irak. Ketika kembali keduanya melewati Abu Musa al-Asy’ari yang saat itu menjabat sebagai amir atas kota Bashrah, ia (Abu Musa) pun menyambut kedatangan mereka berdua, kemudian berkata, ‘Jika aku mampu memberikan kepada kalian suatu urusan yang bermanfaat bagi kalian niscaya aku akan melakukannya.’ Kemudian ia (melanjutkan) ucapannya, ‘Ya, ini ada harta dari harta Allah, aku ingin mengirimnya kepada Amirul Mukminin, aku akan meminjamkannya kepada kalian sehingga kalian bisa membeli barang dagangan Irak dengannya kemudian kalian jual di Madinah, lalu kalian sampaikan (kembalikan) modalnya kepada Amirul Mukminin dan keuntungannya untuk kalian berdua.’ Keduanya menjawab, ‘Kami menyukai hal tersebut.’ Lantas ia pun melakukannya dan menulis surat kepada ‘Umar untuk mengambil harta dari keduanya. Ketika keduanya sampai, dan mendapatkan keuntungan. Pada saat keduanya memberikannya kepada ‘Umar, ia (‘Umar) berkata, ‘Apakah ia memberikan pinjaman kepada setiap pasukan seperti apa yang dipinjamkan kepada kalian?’ Keduanya menjawab, ‘Tidak.’ Maka ‘Umar bin al-Khaththab berkata, ‘(Apakah karena) kalian berdua putera Amirul Mukminin, sehingga ia meminjaminya kepada kalian berdua? Berikan harta dan keuntungannya!’ Adapun ‘Abdullah, maka ia diam, sedangkan ‘Ubaidullah ia berkata, ‘Tidak sepantasnya engkau melakukan ini, wahai Amirul Mukminin! Seandainya harta ini berkurang atau rusak niscaya kami yang menanggungnya.’ ‘Umar berkata, ‘Berikanlah hartanya.’ ‘Abdullah terdiam dan ‘Ubaidullah tetap membantahnya. Maka salah seorang anggota majelis ‘Umar berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, (bagaimana) kalau engkau menjadikannya sebagai qiradh?’ Lalu ia menjawab, ‘Aku telah menjadikannya sebagai qiradh.’ Lalu ‘Umar mengambil modalnya dan setengah dari keuntungannya dan ‘Abdullah serta ‘Ubaidullah, dua putera ‘Umar bin al-Khaththab mengambil setengah keuntungan dari harta tersebut.” [2]

Seorang Pekerja Adalah Amin (Dipercaya)
Mudharabah hukumnya boleh baik secara mutlak atau pun terikat, dan seorang amil (pekerja) tidak menanggung (kerusakan) kecuali jika ia ceroboh dan menyelisihi (perjanjian).

Ibnul Mundzir berkata, “Mereka (ulama) sepakat bahwa apabila pemilik harta melarang pekerjanya untuk menjual dengan cara nasi’ah (tempo), lalu ia menjualnya dengan cara nasi’ah, maka ia menanggungnya (menggantinya).”[3]

Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa ia memberi syarat kepada seseorang apabila ia memberinya harta sebagai modal untuknya, “Jangan menggunakan modalku (hartaku) untuk barang yang bernyawa, jangan membawanya ke laut, dan jangan membawanya di tengah air yang mengalir. Jika engkau melakukan salah satu di antaranya, maka engkaulah yang menanggung modalku.” [4]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Fiq-hus Sunnah (III/212).
[2]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (V/291)], Muwaththa’ Imam Malik (479/1385), al-Baihaqi (VI/110).
[3]. Al-Ijmaa’ (hal. 125).
[4]. Sanadnya shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (V/293)], ad-Daraquthni (II/63, no. 242), al-Baihaqi (VI/111).

No comments:

Post a Comment